Ternyata Begini Loh Cara Masyarakat Desa Sade Bertahan Hidup Pada Saat Pandemi Covid-19


Hai, edukafwends! Indonesia, negara kita tercinta, merupakan negara kepulauan yang terdiri dari beribu-ribu pulau. Keadaan tersebut tergambar dalam salah satu lagu nasional di bawah ini.

🎶 Dari Sabang sampai Merauke, berjajar pulau-pulau. Sambung menyambung menjadi satu, itulah Indonesia. Indonesia tanah airku, aku berjanji padamu. Menjunjung tanah airku, tanah airku Indonesia. 🎶

Gimana? Kalian masih hafal nggak dengan salah satu lagu nasional di atas? Yaps! Lagu tersebut menggambarkan tentang keberagaman yang terdapat di Indonesia melalui persebaran dari pulau Sabang, yang terletak di Pulau Weh, ujung barat Indonesia, hingga Pulau Merauke, yang terletak di Papua, ujung timur Indonesia.

Edukafwends, tahu nggak kalau ternyata pulau di Indonesia tercatat sebanyak 17.308 pulau pada tahun 2024, loh! Maka, jangan heran ya kalau Indonesia disebut sebagai negara kepulauan. Dengan adanya 17.308 pulau tersebut, tentu saja akan melahirkan berbagai keberagaman dalam beberapa aspek, seperti suku, agama, ras, adat istiadat, budaya, antargolongan, dan lain-lain.

Nah, dengan adanya keberagaman tersebut, terutama keberagaman dalam adat istiadat, budaya, dan antargolongan yang dimiliki masing-masing daerah akan menciptakan berbagai komunitas dan kearifan lokal yang berbeda-beda. Tentu saja tidak terkecuali sebuah pulau yang dijuluki sebagai pulau "Seribu Masjid" yakni di daerah Lombok.

Hmm, emangnya apa aja sih komunitas serta kearifan lokal yang dimiliki Lombok? Tentu buaaanyak dong. Tapi sebelum lanjut, edukafwends, tahu nggak apa itu komunitas dan kearifan lokal? Yuk, kita simak bersama-sama!

APA ITU KOMUNITAS DAN KEARIFAN LOKAL?

Komunitas diambil dari bahasa Inggris, yaitu community. Dalam bahasa Inggris, community dapat diartikan sebagai masyarakat setempat yang memiliki cakupan wilayah yang sama dari beberapa organisme yang berbagi lingkungan serta memiliki keterkaitan yang sama. Nah, edukafwends, bisa mengatakan suatu perkumpulan merupakan sebuah komunitas jika ditandai dengan adanya ikatan kuat antar anggota yang disebut perasaan komunitas (community sentiment).

Sedangkan, kearifan lokal dapat diartikan sebagai kekayaan budaya lokal yang mengandung kebijakan hidup, pegangan hidup (way of life) yang mengakomodasi kebijakan (wisdom) dan kearifan hidup yang mengandung tata nilai atau perilaku hidup masyarakat lokal secara arif dalam berinteraksi dengan lingkungan tempatnya hidup. Oleh karena itu, kearifan lokal dapat menjadi pedoman masyarakat untuk bersikap dan bertindak dalam konteks kehidupan sehari-hari yang dijalaninya.

Do you get it, edukafwends?

Eitss, edukafwends, tenang aja kalau masih bingung. Agar pemahaman edukafwends makin dalam, di bawah ini nih ada contoh komunitas serta kearifan lokal yang ada di daerah Lombok, tepatnya di salah satu desa adat yang terdapat di Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah, yang diberi nama Desa Sade.

Kalian tahu nggak sih, edukafwends, ternyata Desa Sade itu sudah mulai didiami penduduk pada tahun 1079? Nah, pada sejarahnya, kata Sade sendiri berasal dari bahasa Sanskerta, yakni "Noer Sade", yang memiliki makna "sinar obat". Jadi, perlu diingat ya edukafwends, kalau desa ini dulunya itu belum bernama Desa Sade pada awal didiami, tetapi namanya baru berubah menjadi Sade semenjak masuknya Islam pada abad ke-17.

Desa Sade dikenal sebagai dusun yang mempertahankan adat suku Sasak. Oleh karena itu, semenjak tahun 1975, desa Sade ini sudah dikunjungi oleh para wisatawan, baik dari dalam negeri maupun luar negeri, ketika berkunjung ke Lombok. Nah, selain dijuluki sebagai dusun yang mempertahankan adat suku Sasak, Sade juga dapat dikatakan sebagai cerminan asli suku Sasak Lombok dengan suasana perkampungannya yang benar-benar menunjukkan keaslian pribumi di Lombok.

"Mang eak bang?"

Iya dong. Nih ya, kalau edukafwends wisata ke sana, guide tour di sana pasti bakal ngejelasin bangunan rumah yang kesannya sangat terjaga bentuk ketradisionalannya. Bagi orang Sasak, Sade, bangunan yang ditempatinya untuk tinggal dan berlindung disebut dengan "bale". Bale-bale di sana benar-benar amat tradisional. Selain itu, jarak antar bangunan yang satu dengan bangunan yang lain sangat rapat, loh edukafwends. Coba aja deh untuk wisata ke sana.

Nah, tepat pada saat di perkampungan dalam, edukafwends bakal lihat bale-bale yang dinding dan tiangnya terbuat dari bambu, dengan atap yang terbuat dari alang-alang kering. Keistimewaan dari atap alang-alang ini adalah atap tersebut akan menyejukkan bangunan saat cuaca terik, namun sebaliknya memberikan kehangatan di malam hari. Lantainya tidak seperti kita yang terbuat dari keramik maupun semen, melainkan terbuat dari tanah liat yang dicampur dengan sedikit sekam padi.

Selain bentuk balenya yang masih berkesan tradisional, ternyata masyarakat Desa Sade juga memiliki kebiasaan unik dan khas mereka, yaitu mengepel lantai menggunakan kotoran kerbau yang dicampur dengan sedikit air. Ketika dulu aku berwisata ke sana, tentu saja terdapat perasaan aneh, merasa jijik, huek-huek, dan tentu saja penasaran mengapa masyarakat desa di sana melakukan hal tersebut. Untung saja tour guidenya ngejelasin kalau masyarakat desa tentu juga memilah dan memilih kotoran kerbau yang digunakan sebagai bahan pelulur lantai. Tidak asal kotoran kerbau saja, melainkan kotoran kerbau yang masih fresh dan merupakan kotoran pertama ternak di pagi harinya agar masih segar dan hijau, serta tidak mengeluarkan aroma menyengat dan belum dikerubuti lalat.

Masyarakat desa Sade melakukan kebiasaan ini dikarenakan zaman dulu tuh belum ada plaster semen, edukafwends. Akhirnya, masyarakat desa mengoleskan kotoran kerbau di alas rumahnya deh. Eitss, tapi tidak semerta-merta dioleskan ya. Konon katanya, sih, masyarakat di sana percaya dengan cara begitu lantai rumah terhindar dari keretakan, lebih hangat ketika malam hari, dan memiliki antiseptik alami yang mampu mengusir nyamuk. Selain itu, rumah dirasa lebih nyaman, dan tidak banyak debu juga, begitu edukafwends. Eh, jangan salah ya, meskipun sekarang sudah ada yang memakai plaster semen, mengolesi kotoran kerbau pada lantai masih tetap dilakukan dan sudah menjadi tradisi turun temurun masyarakat desa Sade.

Berbicara mengenai desa wisata ini, ternyata eh ternyata terdapat komunitas pemandu wisata (tour guide) di Desa Sade ini, lho edukafwends. Tentu saja masyarakat di sana yang secara aktif terlibat dalam pengembangan pariwisata berbasis komunitas ini. Akan tetapi, komunitas pemandu wisata di Desa Sade ini tuh biasanya tidak terorganisasi secara formal dalam bentuk komunitas yang terstruktur seperti asosiasi resmi. Jadi, mereka tuh lebih ke kelompok informal yang terdiri dari warga desa, terutama pria, yang tugasnya memperkenalkan budaya dan tradisi Sasak kepada wisatawan.

Meskipun tidak terorganisasi secara formal, pemandu wisata ini tetap termasuk ke dalam komunitas, loh edukafwends.

"Kok bisa?"

Ya karena tadi kan kita membahas bahwasanya komunitas dapat diartikan sebagai masyarakat setempat yang memiliki cakupan wilayah yang sama dari beberapa organisme yang berbagi lingkungan serta memiliki keterkaitan yang sama. Dari pengertian tersebut, meskipun komunitas pemandu wisata ini tidak bersifat formal, tetap dapat dikatakan sebagai sebuah komunitas ya edukafwends.

Hal ini dikarenakan para pemandu wisata tersebut berasal dari warga lokal Desa Sade yang memiliki kesamaan identitas budaya sebagai suku Sasak, serta memiliki tujuan yang sama, yakni mempromosikan budaya dan tradisi Desa Sade kepada wisatawan, sekaligus meningkatkan pendapatan desa melalui pariwisata. Tidak hanya itu, mereka juga melakukan interaksi dan melakukan kolaborasi dalam pengaturan giliran kerja atau pembagian tugas lainnya, seperti: menyambut tamu, pemandu, dan membantu kegiatan wisata lainnya.

Nah, setelah membahas komunitas yang ada di Desa Sade, selanjutnya kita akan membahas tentang kearifan lokal apa saja, sih, yang ada di masyarakat Desa Sade ini? Let's check it out.

Kearifan lokal yang ada di masyarakat Desa Sade dapat diartikan sebagai gagasan, prinsip hidup, tingkah laku, aturan atau norma, pandangan, dan hukum yang berasal dari pengalaman turun temurun leluhur. Kearifan lokal ini juga ternyata dapat menjadi salah satu cara untuk menghadapi permasalahan kehidupan, loh edukafwends. Salah satu permasalahan hidup tersebut ialah bencana wabah penyakit COVID-19.

"Loh gimana bisa?"

Bisa dong, contoh nya nih waktu wabah COVID-19 yang terjadi pada ±5 tahun yang lalu, merupakan bencana yang mengakibatkan kondisi sulit muncul di masyarakat, karena memiliki dampak pada seluruh aspek kehidupan. Tidak hanya berjuang dari serangan virus COVID-19, tetapi orang-orang pada saat itu juga berjuang dari kelangkaan pangan, kelaparan, dan bahkan susahnya dalam mencari pekerjaan.

Akan tetapi, dengan adanya kearifan lokal yang lahir dari pengalaman yang pernah dilalui dalam menghadapi bencana, masyarakat Desa Sade mempunyai cara sendiri untuk menghadapi bencana berupa wabah penyakit Covid-19 kala itu.

Lantas, edukafwends tahu nggak nih kearifan lokal apa saja yang dapat membantu masyarakat Desa Sade pada saat menghadapi wabah Covid-19 itu? Kalau belum tahu, yuk cari tahu sama-sama.

1. Bale Lumbung

Pada saat itu, pengelolaan risiko bencana salah satunya adalah mengadaptasi ketahanan pangan yang dilakukan untuk mengurangi risiko dampak kelangkaan kebutuhan pangan saat pandemi Covid-19. Nah, bale lumbung inilah yang menjadi tempat penyimpanan pangan untuk menjamin keamanan pangan dalam situasi kala itu. Bale lumbung sendiri sebenarnya sudah ada sebelum adanya pandemi Covid-19. Sehingga, pada saat peraturan pemerintah untuk tidak keluar rumah, masyarakat desa sudah mempunyai cadangan pangan yang disimpan di bale lumbung tersebut. Keren, ya?

2. Roah Gubug

Tradisi roah gubug merupakan tradisi yang dilakukan sebelum penghuni rumah. Roah berarti selamatan atau doa-doa untuk menghormati tempat mereka, yang merupakan ajaran leluhur, agar si penghuni rumah dijauhkan dari bencana alam maupun non-alam. Acara ini dilaksanakan 1 tahun sekali oleh setiap rumah dan dilaksanakan secara bergantian yang ditentukan oleh pemangku adat, sedangkan yang memimpin acara tersebut ialah seorang kiai untuk berdoa agar si penghuni terhindar dari marabahaya dan bencana dengan cara menaburkan motosiung yang dibuat dari gula merah, parutan kelapa, dan beras di sekitar rumah. Setelah itu, rumah yang baru dihuni dalam waktu sebulan harus dipel dengan kotoran kerbau karena dipercayai akan dijauhkan dari roh-roh jahat atau selaq.

3. Ngapung

Tradisi ngapung dalam bahasa Indonesia berarti mandi, dimana mandi yang dimaksud dalam tradisi ini adalah berendam di Pantai Kuta yang letaknya di Lombok Tengah, dari pagi hari hingga jam 10. Tradisi ini dilakukan sekali setahun yang ditentukan oleh pemangku adat. Tapi ternyata, selain sebagai penentu pelaksanaan tradisi tersebut, pemangku adat juga lah yang melakukan doa agar masyarakat Desa Sade, baik anak-anak hingga cucu, dijauhkan dari segala macam marabahaya dan penyakit.

Nah, itulah tadi edukafwends beberapa kearifan lokal yang terdapat di Desa Sade, Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah, lebih khususnya dalam menghadapi sebuah bencana berupa wabah penyakit, yakni COVID-19. Ternyata eh ternyata, kearifan lokal yang kita anggap sebagai hal-hal di luar nurul, memberikan pengaruh yang sangat besar ya, dalam membantu kita, khususnya masyarakat Desa Sade, dalam menghadapi sebuah bencana berupa wabah penyakit Covid-19.

Selain itu, keaslian budaya nya yang masih terjaga ternyata membuat desa ini dijadikan sebagai desa wisata. Meskipun begitu, dengan dijadikannya desa ini sebagai desa wisata, budaya suku Sasak di Desa Sade tetap dapat dinikmati dan dilestarikan sebagai bagian dari keragaman bangsa Indonesia. Hal inilah yang membuat terbentuknya sebuah komunitas pemandu wisata (tour guide) di desa Sade ini, lho edukafwends. Tentu saja masyarakat di sana yang secara aktif terlibat dalam pengembangan pariwisata berbasis komunitas ini.

Jadi, gimana edukafwends? Ada sesuatu yang kalian dapati dari sini? Kalau iya, jangan lupa share link untuk membagi pengetahuan kepada teman kamu yang lain, ya? Dan jangan lupa juga buat ikut andil dalam menjaga serta melestarikan keragaman yang kita miliki, ya edukafwends. Kalau kata pepatah, sih, "Dimana langit dipijak, di situ langit dijunjung." Terima kasih sudah membaca artikel ini. Semoga bermanfaat dan sampai jumpa di lain waktu.

Penulis:
Anisa Meilany Kusuma
Nurul Isnaini Novita Fitri 
Dayyan Lubaid Muslim
Ahmad Maulidi Ihsani

Comments