Membangun Keharmonisan Melalui Tradisi Begawe dan Komunitas Ran/Reran Dalam Budaya Sasak


Seiring berkembangnya peradaban manusia, berbagai perubahan yang dulunya tidak berani dibayangkan mulai terukir nyata. Perubahan-perubahan dalam dunia sosial pun tidak luput dipengaruhi oleh perkembangan zaman yang terus melesat maju dari waktu ke waktu.

Jika dulunya orang-orang hanya mengenal interaksi antara tetangga, kini interaksi mereka mencapai berbagai belahan dunia. Kemudian dari interaksi dan kebersamaan yang terus terjaga, berbagai individu mulai memutuskan membangun persatuan dalam sebuah kesatuan yang disebut sebagai sebuah komunitas.

Secara istilah, komunitas merupakan kelompok orang yang saling berhubungan dan memiliki kesamaan minat, tujuan, atau latar belakang. Jika dilihat lebih dekat, mereka terhubung melalui kesamaan seperti daerah tempat tinggal, suku, budaya, keyakinan, hingga hobi tertentu.

Dalam ilmu sosiologi, komunitas sendiri dilihat sebagai kelompok berisikan individu-individu dengan karakteristik yang sama dan terlibat dalam interaksi bersama. Menurut Bales, komunitas adalah sejumlah individu yang saling berinteraksi dengan sesamanya secara tatap muka atau melalui serangkaian pertemuan. Kemudian tiap-tiap anggota tersebut akan saling menerima impresi atau persepsi anggota lain pada suatu waktu dan menimbulkan pertanyaan yang membuat setiap anggota bereaksi sebagai reaksi individual. Ahli lain juga mengemukakan pernyataan tentang komunitas sebagai sekumpulan individu yang memiliki kesamaan yang saling berdekatan dan terlibat dalam suatu tugas bersama.

Dengan itu, anggota-anggota komunitas saling bergantung dalam mencapai satu tujuan. Dari pernyataan-pernyataan tersebut, komunitas dapat dikatakan sebagai sebuah kelompok dengan interaksi antar individu yang sangat erat dalam hubungan kebersamaan, seperti dalam hubungan kerja sama hingga dukungan fisik hingga emosional. Dengan merangkap seluruh definisi yang terpapar, komunitas tentu menjadi sebuah keuntungan bagi setiap individu yang menjadi bagian di dalamnya.

Jika ditilik dari sisi bahasa, kata komunitas berasal dari bahasa Latin communitas yang berarti “kesamaan”, yang dalam bentuk aslinya yakni communis memiliki arti “sama, publik, dibagi oleh semua atau banyak”, yang berarti dapat disimpulkan bahwa komunitas merupakan sebuah perkumpulan atau kelompok bersama dimana setiap individu yang terlibat di dalamnya memiliki berbagai kesamaan. Hal itu kemudian menjadi tali erat interaksi setiap individu dalam jangka yang tidak terbatas dan memupuk berbagai kausalitas antara satu individu dengan yang lain.

Salah satu keberadaan komunitas yang tercipta dengan adanya kesamaan dan kebersamaan dapat dilihat pada sebuah tradisi suku Sasak di pulau Lombok. Tradisi yang tak lekang oleh panas, tak lapuk oleh hujan, serta abadi dalam perjalanan waktu, yakni tradisi Begawe.

Begawe adalah sebuah tradisi yang sudah dilakukan sejak zaman dahulu oleh masyarakat suku Sasak. Hal ini dijadikan sebagai sebuah hajat atau syukuran untuk berbagi kebahagiaan dengan masyarakat sekitar dengan acara makan-makan sebagai acara intinya.

Begawe sendiri memiliki berbagai jenis, di antaranya sebagai hajatan atau acara doa yang dilakukan setelah 9 hari orang meninggal (Nyiwak Jelo), begawe untuk acara merari' (pernikahan) , begawe untuk acara nyunatang (khitanan), ngurisang (aqiqah), dan lain sebagainya.

Begawe dalam definisinya dari pandangan masyarakat Sasak merupakan aktivitas di tempat terbuka bergelar perayaan yang menjadi pengikat tali persatuan, sebuah pemupuk harmonisasi dan penjaga tali silaturahim antar masyarakat.

Tahapan awal dari Begawe ini biasanya dimulai dari perencanaan atau pemilihan hari untuk acara puncaknya. Perencanaan itu rata-rata dilakukan melalui musyawarah yang biasanya dilakukan pada 14 hari hingga 10 hari sebelum Begawe digelar. Setelah penentuan tanggal, dimulailah pembagian peran dalam acara. Biasanya para lelaki akan ditugaskan untuk bagian pekerjaan yang membutuhkan tenaga besar, sementara para perempuan akan berfokus pada hidangan yang akan disuguhkan pada para tamu.

Di akhir acara begawe digelar, para tamu yang hadir akan diberikan berkat berupa makanan atau jajanan sebagai tanda terima kasih atas kehadiran mereka pada acara begawe tersebut. Begawe pada dasarnya memang merupakan sebuah acara perayaan besar. Namun, selain dengan hidangan ciri khasnya yakni sayur santan dengan isian kedebong (batang pohon pisang bagian dalam) yang dinamakan ares, acara begawe tidak hanya dikenal karena kemeriahannya. Tradisi begawe juga memiliki sisi yang tidak kalah menarik dari acara lainnya, yakni bagian yang menjadi pilar tradisi begawe tersebut, sang pengarah sekaligus juru masak pada acara begawe, Reran.

Jika di zaman sekarang, pemuda-pemudi di luar sana mengenal yang memasak pada sebuah acara disebut sebagai chef dan koki, maka pemuda-pemudi sasak mengenal mereka dengan nama lain. Reran atau Ran, yang biasanya juga disebut Inan nasiq/Inan jangan (lauk) adalah seseorang yang dipercaya untuk menjadi pemegang perintah dalam membuat berbagai macam hidangan yang akan disajikan pada saat acara begawe. Biasanya dalam sebuah acara begawe, akan ada beberapa Ran yang ditugaskan untuk mengawasi bagian kuliner. Uniknya, di beberapa daerah Lombok, peran sebagai Reran ini lebih banyak dilakukan oleh kaum lelaki daripada kaum perempuan.

Selain itu, meskipun setiap Ran memiliki sebutan sama sebagai seorang Reran, setiap Ran memiliki resep yang menjadi ciri khasnya masing-masing, yang kerap kali membuat mereka mudah dikenali oleh masyarakat.

Reran sendiri memegang peran yang sangat penting dalam acara begawe. Bahkan bisa dikatakan bahwa mereka bertanggung jawab atas keberlangsungan penyelenggaraan begawe. Pasalnya, kepuasan para tamu undangan terletak pada bagaimana kepiawaian seorang Ran sebagai juru masak yang bertanggung jawab atas hidangan yang dinikmati oleh para tamu. Karena itu, seorang Reran tidak bisa dipilih secara sembarangan atau dari sembarang orang, melainkan harus mampu memenuhi berbagai kriteria seperti kemampuan mengarahkan yang baik, serta mampu menangkap situasi dengan cepat atau dengan kata lain, cepat tanggap. Jika seorang Reran tidak mampu memenuhi kriteria-kriteria yang ada tersebut, maka dapat dipastikan tidak akan ada acara begawe yang bisa berjalan dengan lancar.

Lalu bagaimana tradisi Begawe dan Ran/Reran ini dapat membangun Keharmonisan dalam masyarakat? Tidak hanya sebagai acara hajatan, melalui tradisi Begawe dan peran komunitas Ran/Reran dalam pelestarian budaya Sasak, tercipta suatu bentuk keharmonisan sosial yang mendalam, dimana nilai-nilai gotong royong, kebersamaan, dan saling menghargai serta saling mendukung antar individu dan kelompok menjadi fondasi dalam memperkuat kohesi sosial dan identitas budaya masyarakat Sasak. Dengan itu, dapat terlihat bahwa tradisi Begawe dan komunitas Ran/Reran bukan hanya sebagai ritual atau praktik sosial, tetapi juga sebagai instrumen untuk memperkokoh ikatan sosial hingga batin dalam masyarakat Sasak.

Oleh karena itu, pelestarian tradisi Begawe dan komunitas Ran/Reran ini tentu sangat diperlukan untuk memperkenalkan bagaimana indahnya tradisi dalam budaya suku Sasak untuk generasi masa kini hingga generasi mendatang.

Melalui tulisan ini, kami menanam benih harapan untuk kelestarian setiap kearifan lokal yang ada di Indonesia, khususnya di daerah Lombok. Karena tradisi begawe dan komunitas Reran tidak hanya dikemas dengan meriahnya perayaan dalam kebersamaan dan gurihnya hidangan, tapi juga dipenuhi dengan nilai-nilai sosial penting dalam kehidupan.

Penulis/
Kelompok : 1 (Satu)
Dinar Oktari
Ijabatul Rahmatullah
Mirrotus Tawa'
Siti Syawaliana Hafiza
L. Alif Surya Herka Putra

Comments