Bayangkan sebuah dunia tanpa tradisi, tanpa kebersamaan yang mengakar, atau tanpa warisan yang diceritakan dari generasi ke generasi. Dunia semacam itu akan terasa hampa, bukan? Tradisi dan nilai-nilai yang diwariskan bukan sekadar kenangan masa lalu, tetapi fondasi yang menjaga identitas kita sebagai manusia. Di tengah arus globalisasi yang serba cepat, komunitas dan kearifan lokal menjadi penjaga utama keberlanjutan budaya sekaligus pengikat harmoni sosial. Tapi, apa sebenarnya yang dimaksud dengan komunitas? Dan bagaimana kearifan lokal terus bertahan di zaman modern? Untuk memahami hubungan keduanya, mari kita mulai dari akar pengertian hingga kisah unik dari tradisi Peresean yang mewakili kekayaan budaya Nusantara.
Komunitas merupakan kelompok sosial yang terbentuk karena adanya kesamaan nilai, tradisi, dan tujuan bersama. Di Indonesia, komunitas tidak hanya menjadi ruang interaksi sosial, tetapi juga menjadi wadah pelestarian budaya dan tradisi lokal. Dalam komunitas, terdapat nilai-nilai kearifan lokal yang diwariskan dari generasi ke generasi, yang mencerminkan identitas budaya suatu daerah.
Kearifan lokal adalah kumpulan pengetahuan, nilai, dan praktik yang berkembang dalam masyarakat setempat dan berfungsi untuk menjaga harmoni antara manusia dengan alam sekitarnya. Contohnya dapat ditemukan dalam tradisi adat, bahasa, seni, dan sistem kepercayaan yang telah mengakar kuat di berbagai daerah di Indonesia. Kearifan lokal berperan penting dalam membentuk karakter masyarakat yang menghargai kebersamaan, solidaritas, dan kelestarian lingkungan.
Hubungan antara komunitas dan kearifan lokal ibarat dua sisi mata uang. Keduanya tidak dapat dipisahkan. Komunitas menjadi ruang di mana kearifan lokal dilestarikan, sementara kearifan lokal memberikan identitas yang membedakan satu komunitas dari yang lain Salah satu contoh yang mencolok adalah tradisi Peresean, seni pertarungan khas masyarakat Sasak di Lombok.
Peresean adalah seni pertarungan tradisional yang dilakukan oleh masyarakat Sasak, khususnya di Desa Ende, Lombok. Dalam tradisi ini, dua petarung atau Pepadu saling berhadapan di arena, menggunakan tongkat rotan sebagai senjata dan perisai kulit kerbau sebagai pelindung. Pada pandangan pertama, Peresean mungkin terlihat seperti pertarungan fisik biasa. Tetapi jika diamati lebih dalam, tradisi ini penuh dengan makna filosofis.
Setiap pukulan tongkat rotan melambangkan perjuangan hidup, sementara perisai kulit kerbau adalah simbol perlindungan atas nilai-nilai luhur yang diwariskan leluhur. Pertarungan ini bukan hanya soal kekuatan, tetapi juga strategi, pengendalian diri, dan kehormatan. Di masa lalu, Peresean digunakan sebagai pelatihan fisik dan mental bagi para pemuda Sasak yang bersiap menghadapi perang. Kini, tradisi ini juga menjadi bagian dari ritual adat, seperti upacara meminta hujan saat musim kemarau. Di tengah arena, ada Pekembar, juri adat yang memastikan pertandingan berjalan sesuai aturan. Di luar arena, seluruh komunitas ikut berpartisipasi ada yang mendukung para Pepadu, ada yang menyiapkan peralatan tradisional, dan ada pula yang mengatur jalannya acara. Semua elemen ini menunjukkan bahwa Peresean bukan hanya tentang pertarungan, tetapi juga tentang kebersamaan dan solidaritas.
Menurut informasi dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, peresean merupakan seni tari tradisional yang berasal dari Lombok. Dalam tradisi ini, para petarung dikenal dengan sebutan pepadu. Peresean telah dimainkan oleh masyarakat Suku Sasak sejak abad ke-13 dan awalnya berfungsi sebagai ritual untuk memohon turunnya hujan saat musim kemarau tiba. Selain itu, peresean juga digunakan pada masa kerajaan di Lombok sebagai salah satu bentuk bela diri tradisional.
Berdasarkan laman Jejaring Desa Wisata, peresean pada awalnya merupakan ajang adu ketangkasan yang bertujuan untuk memilih pemimpin perang dalam komunitas di Lombok. Pertarungan ini dianggap sebagai sarana untuk menunjukkan kehebatan dan kekuatan ilmu yang dimiliki oleh para peserta. Tradisi peresean memiliki nilai sakral bagi masyarakat adat setempat dan biasanya digelar dalam rangka memperingati perayaan-perayaan tertentu.
Namun, seiring waktu, peresean juga dijadikan sebagai atraksi budaya yang menarik perhatian wisatawan yang berkunjung ke desa wisata adat Sasak Ende. Peresean merupakan tradisi seni bertarung yang unik dari masyarakat Sasak di Lombok. Kegiatan ini tidak hanya menonjolkan aspek fisik, tetapi juga mengandung nilai-nilai budaya yang mendalam. Berikut adalah rangkaian aktivitas dalam tradisi Peresean yang mencerminkan kekayaan budaya lokal.
Persiapan Alat Tradisional Seperti Tongkat Rotan (Penjalin). Tongkat ini terbuat dari rotan yang lentur sehingga aman digunakan dalam pertarungan, Perisai Kulit Kerbau (Ende) Perisai berbentuk persegi panjang yang berfungsi melindungi tubuh dari serangan tongkat rotan, Pembuatan peralatan ini dilakukan oleh masyarakat setempat, tidak hanya sebagai upaya menjaga budaya, tetapi juga untuk mendukung ekonomi lokal.
Pemilihan dan Latihan Pepadu (Petarung) Biasanya Adalah pria dewasa dari komunitas Sasak yang dipilih untuk berpartisipasi dalam Peresean. Mereka harus memiliki keberanian, kekuatan fisik, serta kemampuan mengontrol diri. Beberapa Pepadu menjalani pelatihan fisik dan mental agar siap menghadapi pertarungan, terutama dalam acara yang disaksikan banyak orang.
Ritual Pembukaan. Sebelum pertandingan dimulai, dilakukan ritual adat yang dipimpin oleh sesepuh atau tokoh masyarakat untuk memohon keselamatan dan kelancaran acara. Ritual ini juga sering kali berfungsi sebagai bagian dari upacara meminta hujan, terutama saat musim kemarau.
Pertandingan Peresean (pertarungan). Dua Pepadu bertarung di arena terbuka yang dikelilingi penonton. Mereka bergantian melakukan serangan dan bertahan menggunakan tongkat dan perisai. Pertarungan berlangsung selama beberapa menit dengan pengawasan juri adat atau Pekembar. Pekembar memastikan pertarungan berjalan dengan adil dan sportif. Jika situasi pertarungan terlalu intens, ia berhak memisahkan para Pepadu.
Peran Komunitas. Komunitas memiliki peran penting dalam pelaksanaan Peresean, seperti penonton memberikan semangat kepada Pepadu melalui sorakan. Lalu ada musik tradisional seperti Gendang dan seruling dimainkan selama pertarungan untuk menciptakan suasana sakral dan meriah. Dan keterlibatan perempuan berperan dalam mempersiapkan konsumsi atau kebutuhan lain yang mendukung kelancaran acara.
Penutupan dan Evaluasi. Setelah pertandingan berakhir, para Pepadu berjabat tangan sebagai simbol sportivitas dan rasa hormat. Komunitas kemudian berkumpul untuk berbagi cerita, melakukan evaluasi, serta merencanakan acara berikutnya.
Peresean telah dikenal masyarakat Sasak sejak abad ke-13. Awalnya, tradisi ini digunakan sebagai sarana latihan bela diri oleh para prajurit kerajaan di Lombok. Pada masa itu, pertarungan ini juga berfungsi sebagai ajang seleksi untuk menentukan pemimpin perang yang tangguh dan berani. Di sisi lain, Peresean juga memiliki kaitan dengan ritual memohon hujan. Ketika musim kemarau panjang melanda, masyarakat menggelar Peresean sebagai simbol pengharapan akan turunnya hujan yang akan menyuburkan lahan pertanian mereka.
Peresean bukan sekadar ajang adu fisik, tetapi mengandung nilai filosofi yang dalam. Tradisi ini mencerminkan keberanian, ketangguhan, dan pengendalian diri dalam menghadapi tantangan hidup. Petarung atau Pepadu diharapkan dapat menunjukkan sikap sportif dan tidak menyimpan dendam setelah bertarung. Simbolisme dalam Peresean juga mengajarkan pentingnya menjaga keseimbangan antara kekuatan dan pengendalian diri. Tongkat rotan yang digunakan sebagai senjata melambangkan keberanian, sementara perisai kulit kerbau melambangkan perlindungan dan kewaspadaan.
Peresean sering digelar dalam rangka ritual meminta hujan, terutama saat musim kemarau panjang. Tradisi ini diyakini mampu menghadirkan keseimbangan alam dan keberkahan. Peresean berfungsi sebagai warisan budaya yang melestarikan ilmu bela diri tradisional masyarakat Sasak. Acara Peresean mengumpulkan masyarakat dari berbagai lapisan untuk saling berinteraksi dan mempererat solidaritas sosial. Pertunjukan Peresean juga menjadi daya tarik bagi wisatawan yang ingin mengenal lebih dekat budaya Sasak.
Secara keseluruhan, Peresean tidak hanya mempertahankan nilai-nilai tradisional, tetapi juga memperkuat identitas budaya lokal di tengah tantangan modernisasi. Filosofi yang terkandung dalam tradisi ini mengajarkan masyarakat untuk selalu berani, tangguh, dan menghargai nilai kebersamaan.
Tradisi Peresean dari Lombok merupakan warisan budaya yang sarat makna historis, filosofi, dan spiritual. Seni pertarungan ini tidak hanya menampilkan ketangkasan fisik, tetapi juga mencerminkan nilai keberanian, sportivitas, dan solidaritas masyarakat Sasak. Sebagai bagian dari ritual adat, Pesresean memiliki fungsi penting dalam kehidupan sosial, mulai dari upacara memohon hujan hingga sarana menjaga keharmonisan komunitas.
Selain menjadi simbol budaya lokal, Peresean juga berperan dalam memperkuat identitas masyarakat Sasak di tengah arus modernisasi. Tradisi ini mengajarkan pentingnya keseimbangan antara kekuatan dan pengendalian diri, sekaligus mempererat hubungan sosial dalam komunitas. Oleh karena itu, Peresean tidak hanya berfungsi sebagai hiburan atau atraksi wisata, tetapi juga sebagai cara masyarakat Sasak melestarikan nilai-nilai kearifan lokal yang telah diwariskan turun-temurun.
Penulis:
Amalia Wardani
Lailan Sakinah
Irwan Hasani
Muhammad Rizki Maulidin
Comments
Post a Comment
Cara bicara menunjukkan kepribadian, berkomentarlah dengan baik dan sopan…