Komunitas dapat dipahami sebagai sekumpulan individu yang memiliki kesamaan dalam karakteristik tertentu, seperti tempat tinggal, budaya, tradisi, agama, ras, atau kondisi sosial ekonomi. Dalam sebuah komunitas, anggotanya hidup berdampingan, saling mendukung, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kebersamaan dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Hubungan antaranggota komunitas ini terjalin dengan erat karena adanya kesamaan kepentingan atau nilai-nilai yang dipegang bersama. Nilai-nilai ini mencakup pedoman hidup yang dikenal sebagai kearifan lokal. Kearifan lokal memiliki fungsi strategis dalam mengatur tatanan kehidupan masyarakat dan menjaga keseimbangan dalam kehidupan sosial.
Kearifan lokal merupakan bagian penting dalam pembangunan budaya dan peradaban suatu komunitas. Nilai-nilai kearifan lokal berperan sebagai ciri khas sebuah komunitas, yang tidak hanya menjadi identitas kolektif, tetapi juga memberikan arahan kepada setiap individu untuk mengembangkan diri sesuai dengan karakteristik komunitasnya. Selain itu, kearifan lokal membantu komunitas menghadapi berbagai ancaman dari luar yang berpotensi mengganggu tatanan nilai yang ada. Dengan kata lain, kearifan lokal menjadi pijakan utama dalam mempertahankan stabilitas komunitas, baik dari segi sosial maupun ekologis.
Salah satu contoh nyata kearifan lokal dapat ditemukan di Dusun Lungkak, Desa Tanjung Luar, Kecamatan Keruak, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Dusun ini terletak di wilayah pesisir Teluk Jukung, yang merupakan bagian dari kawasan yang mencakup Desa Tanjung, Desa Pijot, Pemongkong, dan Desa Jerowaru. Mayoritas penduduk di wilayah ini bermata pencaharian sebagai nelayan, yang memanfaatkan sumber daya laut sebagai penopang utama kehidupan mereka. Keterikatan masyarakat dengan laut menjadi fondasi utama dalam membangun komunitas yang harmonis.
Di Dusun Lungkak, pola pemukiman berbentuk kampung dengan rumah-rumah yang saling berdekatan dan padat. Pemukiman ini dikelilingi oleh jalan-jalan kecil yang menjadi penghubung antar rumah. Meskipun lokasinya agak jauh dari pusat Desa Tanjung Luar, Dusun Lungkak tetap memiliki aktivitas yang ramai pada waktu-waktu tertentu, seperti pagi dan sore hari. Namun, pada malam hari suasana berubah menjadi sepi karena para pria biasanya melaut untuk mencari ikan. Sementara itu, para wanita tetap berada di rumah dan berdoa demi keselamatan keluarga mereka yang sedang melaut. Tradisi ini mencerminkan nilai-nilai spiritual yang dipegang teguh oleh masyarakat setempat.
Komunitas nelayan di Dusun Lungkak terdiri dari dua kelompok utama, yaitu punggawa dan sabi. Punggawa adalah pemilik perahu dan peralatan melaut, sedangkan sabi adalah pekerja yang membantu punggawa dalam menangkap ikan. Pembagian hasil tangkapan ikan dilakukan berdasarkan kontribusi masing-masing pihak. Sebagai contoh, punggawa menerima bagian yang lebih besar karena menyediakan perahu dan alat-alat lainnya, sedangkan sabi mendapatkan bagian yang sesuai dengan peran mereka. Dalam satu perahu, biasanya terdapat empat hingga lima orang, yang terdiri dari satu punggawa dan tiga atau empat sabi. Pembagian hasil ini mencerminkan prinsip keadilan yang berlaku dalam komunitas tersebut.
Selain mengandalkan hasil tangkapan ikan sebagai sumber penghidupan, komunitas nelayan Dusun Lungkak juga menjadikan laut sebagai bagian dari identitas budaya mereka. Kearifan lokal yang diwariskan secara turun-temurun menjadi pedoman dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Salah satu tradisi penting yang masih dipertahankan hingga saat ini adalah upacara selamatan sampan baru. Upacara ini dilakukan untuk memastikan keselamatan nelayan dan keberhasilan dalam melaut. Dalam upacara tersebut, masyarakat berkumpul untuk berdoa bersama, dipimpin oleh seorang kyai atau pemuka agama. Mereka juga menyiapkan sesaji berupa kemenyan, beras tumbuk yang dicampur dengan kunyit, serta daun parempes. Tradisi ini menjadi simbol penghormatan terhadap alam dan harapan akan kelimpahan rezeki.
Selain selamatan sampan baru, masyarakat Dusun Lungkak juga mengadakan upacara selamatan laut. Tradisi ini merupakan kegiatan besar yang diadakan setiap lima tahun sekali. Dalam upacara ini, masyarakat percaya bahwa laut memiliki penghuni yang tak kasat mata, seperti jin, yang perlu dihormati. Upacara ini bertujuan untuk meminta keselamatan dan kelimpahan ikan saat melaut. Jika tradisi ini diabaikan, masyarakat percaya bahwa akan terjadi berbagai musibah, seperti kerasukan makhluk halus, minimnya hasil tangkapan, atau bahkan bahaya besar saat melaut. Upacara ini tidak hanya menjadi ritual spiritual, tetapi juga memperkuat solidaritas antaranggota komunitas.
Selain tradisi-tradisi tersebut, nelayan di Dusun Lungkak memiliki kemampuan unik dalam membaca tanda-tanda alam untuk menentukan waktu dan kondisi yang tepat untuk melaut. Mereka mengamati tanda-tanda di laut, seperti arus yang memutar atau kilauan air, serta tanda-tanda di angkasa, seperti awan hitam, halilintar, dan bintang. Sebagai contoh, bintang Tenggale, yang berbentuk seperti alat pembajak sawah, digunakan sebagai penunjuk arah dan indikator keberadaan ikan. Bintang ini biasanya terlihat dari bulan Agustus hingga Desember. Selain itu, ada juga bintang Rowot dan Tegedoq Bute, yang masing-masing digunakan untuk menentukan kondisi laut dan arah angin.
Keberlanjutan sumber daya laut menjadi perhatian utama bagi komunitas nelayan Dusun Lungkak. Untuk menjaga ekosistem laut, mereka menerapkan aturan yang disebut Awig-Awig. Aturan ini mengatur pemanfaatan sumber daya kelautan secara bijak agar tetap lestari untuk generasi mendatang. Sebagai contoh, komunitas nelayan Lungkak melarang penggunaan teknologi tertentu, seperti bagan dan keramba, yang dianggap merusak lingkungan. Aturan ini disusun dengan mempertimbangkan kondisi lingkungan dan nilai-nilai sosial budaya setempat.
Kearifan lokal tidak hanya berperan dalam menjaga kelestarian lingkungan, tetapi juga menjadi modal penting dalam menghadapi tantangan global, seperti perubahan iklim dan eksploitasi berlebihan. Dengan mematuhi nilai-nilai tradisional, komunitas nelayan Dusun Lungkak berhasil menjaga keseimbangan antara kebutuhan ekonomi, kelestarian ekosistem, dan warisan budaya. Tradisi ini menjadi contoh nyata bagaimana kearifan lokal dapat memberikan solusi terhadap masalah-masalah modern.
Dalam konteks yang lebih luas, kearifan lokal seperti yang dimiliki oleh komunitas Dusun Lungkak dapat menjadi inspirasi bagi masyarakat lain. Nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi mereka bersifat universal, meskipun berasal dari komunitas lokal. Hal ini menunjukkan bahwa kearifan lokal memiliki potensi untuk menjembatani kebutuhan lokal dengan tantangan global. Sebagai contoh, praktik-praktik yang dilakukan oleh nelayan Lungkak dapat diterapkan di berbagai komunitas pesisir lainnya untuk menjaga kelestarian lingkungan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Kearifan lokal merupakan pondasi yang kokoh bagi kehidupan komunitas nelayan Dusun Lungkak. Melalui nilai-nilai budaya yang diwariskan secara turun-temurun, mereka mampu menjaga keharmonisan antara manusia dan alam. Di era modern yang penuh dengan tantangan, tradisi ini menjadi bukti bahwa solusi untuk berbagai masalah global dapat ditemukan dalam kebijaksanaan lokal. Oleh karena itu, melestarikan kearifan lokal adalah tanggung jawab bersama, baik oleh komunitas setempat maupun pihak luar yang berinteraksi dengan mereka.
Sumber:
Penulis/Tugas Kelompok Sosiologi:
Sumber:
Penulis/Tugas Kelompok Sosiologi:
Nurul Askia
Tania Putri Gracia
Muhammad Hadiatul Imam
Muhammad Rangga Syaputra
Tania Putri Gracia
Muhammad Hadiatul Imam
Muhammad Rangga Syaputra
Comments
Post a Comment
Cara bicara menunjukkan kepribadian, berkomentarlah dengan baik dan sopan…