Kearifan Lokal dan Komunitas Suku Sasak Melalui Tradisi "Ngayu Ayu"


Secara sosiologis, istilah community memiliki akar dari bahasa Latin, yaitu "munus," yang berarti hadiah atau pemberian, serta "cum," yang mengacu pada kebersamaan. Oleh karena itu, komunitas dapat didefinisikan sebagai kumpulan individu yang saling berbagi serta memberikan dukungan satu sama lain dalam semangat kebersamaan.

Menurut beberapa ahli, konsep komunitas memiliki berbagai penekanan. Smith, misalnya, menggambarkan komunitas sebagai suatu kesatuan yang terdiri atas individu-individu dengan persepsi kolektif, yang mampu bertindak bersama untuk menghadapi lingkungannya. Sementara itu, Bales menjelaskan komunitas sebagai kelompok individu yang berinteraksi satu sama lain, baik melalui pertemuan langsung maupun komunikasi lainnya, di mana setiap anggota memberikan dan menerima kesan dari anggotanya. Dalam pandangan Cattel, komunitas adalah kumpulan individu yang hubungan antaranggota di dalamnya mampu memenuhi kebutuhan satu sama lain.

Ketiga pandangan ini menunjukkan bahwa komunitas tidak hanya sekadar kumpulan orang, tetapi juga sarana interaksi dan dukungan yang membangun hubungan saling ketergantungan. Ciri-ciri komunitas dapat bervariasi tergantung pada jenis dan konteks komunitas tersebut. Namun, ada beberapa ciri umum yang sering terkait dengan komunitas, seperti Interaksi sosial dalam komunitas terjadi karena adanya dorongan atau motivasi yang serupa di antara para individu, yang kemudian mengarah pada terciptanya tujuan bersama, dan Perbedaan reaksi dan kemampuan antarindividu muncul sebagai hasil dari proses interaksi sosial yang berlangsung di dalam komunitas tersebut.

Kearifan lokal merupakan konsep yang mengacu pada pengetahuan, nilai, dan praktik yang dikembangkan oleh masyarakat setempat berdasarkan pengalaman, tradisi, dan lingkungan hidup mereka. Konsep ini mencakup berbagai aspek seperti budaya, spiritual, sosial, dan lingkungan yang telah diwariskan turun-temurun dan terintegrasi dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Dengan demikian, kearifan lokal menjadi fondasi penting bagi pembangunan berkelanjutan, pelestarian budaya, dan pengembangan masyarakat yang berbasis pada identitas dan keunikan lokal.

Berikut pengertian komunitas menurut para ahli yaitu menurut Phongphit dan Nantasuwan, Kearifan lokal adalah pengetahuan yang berdasarkan pengalaman masyarkat turun-temurun antargenerasi. Menurut Paulo Freire, kearifan lokal merupakan suatu bentuk pendidikan yang mendorong peserta didik untuk selalu berhubungan langsung dengan realitas yang mereka hadapi. Sementara itu, Apriyanto menjelaskan bahwa kearifan lokal adalah serangkaian nilai yang diciptakan, dikembangkan, dan dilestarikan oleh masyarakat sebagai pedoman dalam kehidupan mereka.

Kehadiran kearifan lokal bukanlah wacana baru dalam kehidupan kita sehari-hari. Kearifan lokal sebenarnya hadir bersamaan dengan terbentuknya masyarakat kita, Masyarakat Indonesia. Keberadaan kearifan lokal mencerminkan wujud nyata dari hukum yang hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat. Sesuai laporan The World Conservation Union (1997), dari sekitar 6.000 kebudayaan di dunia, 4.000-5.000 di antaranya adalah masyarakat adat. Ini berarti, masyarakat adat merupakan 70-80 persen dari semua masyarakat di dunia. Dari jumlah tersebut, sebagian besar berada di Indonesia yang tersebar berbagai kepulauan.

Dengan kearifan lokal, maka tatanan sosial dan alam sekitar dapat tetap lestari dan terjaga. Selain itu, kearifan lokal merupakan salah satu bentuk warisan budaya yang harus dijaga dengan baik, terutama oleh generasi muda, sebagai upaya menghadapi tantangan globalisasi. Dengan menjaga kearifan lokal, identitas dan karakter masyarakat daerah akan tetap terpelihara dan tidak mudah terkikis oleh perubahan zaman. Kearifan lokal tidak hanya mencakup aspek budaya seperti seni tari, seni rupa, atau peninggalan sejarah. Lebih dari itu, kearifan lokal juga merangkum nilai-nilai yang lebih universal, seperti rasa peduli terhadap lingkungan dan hubungan harmonis antar sesama manusia. Berikut beberapa ciri-ciri kearifan lokal seperti memiliki kemampuan untuk bertahan dari pengaruh budaya luar dan mengendalikannya, dan terdapat benteng pertahanan dari ancaman pengaruh budaya luar.

Ritual Ngayu-Ayu yang dilakukan oleh masyarakat Sasak di Desa Sembalun, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, merupakan tradisi adat yang bertujuan untuk mengungkapkan rasa syukur kepada Allah SWT atas anugerah kesuburan tanah, melimpahnya hasil panen, serta perlindungan dari berbagai bencana. Ritual Ngayu-Ayu termasuk dalam suatu komunitas karena melibatkan kerja sama dan keterlibatan aktif seluruh anggota masyarakat Sasak. Tradisi ini mengumpulkan masyarakat untuk bersama-sama mempersiapkan dan melaksanakan ritual, menciptakan rasa kebersamaan dan solidaritas yang kuat. Selain itu, pelaksanaan ritual ini memperkuat hubungan sosial antarindividu dalam komunitas, di mana setiap orang memiliki peran dan tanggung jawab yang saling melengkapi. Dengan tujuan yang sama, yaitu memohon keberkahan alam dan panen melimpah, Ngayu-Ayu menjadi simbol kesatuan yang merepresentasikan identitas bersama masyarakat Sasak.

Ritual adat Ngayu-Ayu diselenggarakan setiap tiga tahun sekali dan telah diwariskan secara turun-temurun selama lebih dari 600 tahun. Tradisi ini merupakan bentuk rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas kelimpahan hasil pertanian, perlindungan dari bencana, serta harapan untuk menjauhkan masyarakat dari berbagai penyakit yang pernah dialami oleh penduduk setempat di masa lalu. Pelaksanaan ritual berlangsung selama dua hari. Pada hari pertama, dilakukan pengumpulan air dari tujuh mata air yang menjadi sumber kehidupan masyarakat Sembalun. Air tersebut kemudian disimpan semalaman di rumah-rumah ketua adat. Pada hari kedua, air yang telah dikumpulkan dari berbagai sumber disatukan di makam adat yang terletak di bagian barat Lapangan Sembalun Bumbung.

Upacara Ngayu-Ayu dilaksanakan di sebuah lapangan luas yang terletak di wilayah Sembalun Bumbung, dengan dipimpin oleh ulama dan pemangku adat setempat. Acara ini dihadiri oleh berbagai tamu undangan, termasuk tokoh-tokoh seperti raja, sultan, dan ratu dari berbagai daerah, baik dari dalam maupun luar negeri. Selain kehadiran peserta, persiapan alat dan bahan untuk pelaksanaan upacara ini menjadi aspek yang sangat penting dan harus dilakukan dengan penuh ketelitian. Berikut adalah beberapa hal yang perlu dipersiapkan dalam penyelenggaraan upacara Ngayu-Ayu:

1. Kerbau hitam yang dipilih untuk ritual harus memenuhi syarat tertentu, yaitu tidak memiliki cacat fisik dan belum pernah kawin. Prosesi penyembelihan hanya boleh dilakukan oleh laki-laki, sesuai dengan tradisi yang berlaku. Setelah kepala kerbau dipisahkan dari tubuhnya dengan tiga kali pancungan, kepala tersebut ditanam di ujung desa dengan posisi menghadap barat daya sebagai lambang perlindungan bagi Desa Sembalun. Sementara itu, sisa daging kerbau diolah tanpa menggunakan minyak dan dinikmati secara bersama-sama oleh masyarakat.

2. Ayam betina berwarna hitam dan ayam jantan berwarna putih yang dipilih untuk upacara harus dalam kondisi sempurna tanpa cacat fisik. Ayam-ayam ini kemudian dipanggang sebagai bagian dari keperluan ritual.

3. Ketan yang digoreng.

4. Beras merah yang telah dipersiapkan untuk diolah menjadi dodol dan makanan lainnya sering kali dibentuk menyerupai alat pertanian, sebagai simbol dari tujuan upacara. Proses memasak beras merah ini hanya boleh dilakukan oleh remaja perempuan yang belum mengalami menstruasi atau oleh wanita yang telah memasuki masa menopause.

5. Sekitar 330 ketupat disiapkan.

6. Daun sirih, buah pinang, bunga kemenyan, gula, kelapa, dan berbagai perlengkapan lain yang dibutuhkan pada setiap tahap upacara.

7. Selain bahan-bahan tersebut, beberapa peralatan yang digunakan mencakup ceret, kendi, kain tenun khas Sembalun, serta dulang atau nampan untuk menyajikan makanan persembahan.

Tahapan Pelaksanaan Ritual Ngayu-Ayu:

1. Persiapan Awal

Tahap awal dimulai dengan menentukan tanggal yang tepat untuk pelaksanaan upacara, yang biasanya dilakukan setiap tiga tahun sekali. Pada tahap ini, masyarakat setempat mulai mengumpulkan dan mempersiapkan semua bahan serta perlengkapan yang diperlukan untuk acara tersebut.

2. Penghormatan kepada Ulama dan Pemangku Adat

Upacara dimulai dengan memberikan penghormatan kepada ulama dan pemangku adat yang bertugas memimpin jalannya ritual. Selain itu, penghormatan juga diberikan kepada tamu undangan, termasuk raja, sultan, dan ratu yang hadir dalam acara ini.

3. Ritual Penyembelihan Kerbau

Kerbau hitam yang telah dipilih sebelumnya disembelih dengan prosedur khusus. Penyembelihan ini hanya boleh dilakukan oleh laki-laki, sesuai dengan tradisi. Setelah kepala kerbau dipisahkan dari tubuhnya dengan tiga kali pancungan, kepala tersebut ditanam di ujung desa dengan posisi menghadap barat daya, sebagai simbol perlindungan bagi Desa Sembalun.

4. Persiapan Makanan dan Minuman

Ayam betina hitam dan ayam jantan putih yang telah dipilih kemudian dipanggang sebagai hidangan untuk ritual. Selain itu, bahan lain seperti beras ketan yang digoreng, beras merah yang diolah menjadi dodol dan berbagai jajanan, serta ratusan ketupat turut disiapkan untuk melengkapi prosesi upacara.

5. Pelaksanaan Upacara

Selama upacara berlangsung, berbagai bahan dan perlengkapan khusus digunakan, seperti daun sirih, buah pinang, bunga kemenyan, gula, kelapa, dan lain-lain. Peralatan seperti ceret, kendi, kain tenun khas Sembalun, dulang atau nampan untuk menyajikan makanan persembahan, penginang (wadah sirih pinang), tikar, serta payung juga menjadi bagian penting dari setiap tahapan ritual.

6. Doa dan Penghormatan

Dalam pelaksanaan upacara, doa-doa khusus dilantunkan untuk memohon kelimpahan hasil panen, perlindungan dari berbagai bencana, serta kesejahteraan bagi seluruh masyarakat. Seluruh peserta upacara turut memberikan penghormatan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan leluhur mereka sebagai bagian dari prosesi sakral ini.

7. Makan Bersama - Sama

Setelah seluruh rangkaian upacara selesai, masyarakat berkumpul untuk menikmati hidangan yang telah disiapkan, seperti daging kerbau, ayam panggang, dan berbagai makanan lainnya. Momen ini juga dimanfaatkan untuk mempererat kebersamaan sekaligus merayakan keberhasilan pelaksanaan ritual Ngayu-Ayu.

Tradisi Ngayu-Ayu telah ada sejak zaman nenek moyang Suku Sasak sebagai wujud penghormatan terhadap leluhur dan alam. Sejarah ritual ini mencerminkan hubungan harmonis yang telah lama terjalin antara manusia Sasak dan lingkungannya. Filosofi yang terkandung dalam Ngayu-Ayu adalah "harmoni kehidupan," di mana manusia, alam, dan Sang Pencipta harus hidup selaras. Tradisi ini juga menanamkan nilai bahwa keberhasilan manusia bergantung pada usaha, doa, dan kerjasama komunitas. Tujuan utama dari tradisi ini adalah memohon keberkahan dan hasil panen yang melimpah, namun juga meliputi tujuan sosial, yaitu mempererat hubungan masyarakat, serta tujuan ekologis, yakni mengingatkan pentingnya menjaga keseimbangan alam sekitar.

Tradisi Ngayu-Ayu masih relevan di era modern sebagai bentuk pelestarian budaya sekaligus pengingat akan pentingnya keberlanjutan lingkungan. Dalam konteks globalisasi, kearifan lokal seperti ini dapat menjadi identitas unik yang memperkaya keragaman budaya dunia. Selain itu, tradisi ini mengajarkan nilai-nilai yang relevan dengan isu lingkungan saat ini, seperti konservasi sumber daya alam dan penghormatan terhadap ekosistem. Ritual Ngayu-Ayu di Lombok adalah tradisi yang kaya akan makna dan nilai budaya, dilaksanakan oleh masyarakat Sasak di Desa Sembalun setiap tiga tahun. Ritual ini merupakan ungkapan rasa syukur kepada Tuhan atas kelimpahan hasil bumi dan perlindungan dari bencana serta penyakit. Melalui berbagai prosesi, seperti pengambilan air dari 7 mata air, masyarakat mengingat pentingnya hubungan antara manusia dan alam. Air yang dikumpulkan menjadi simbol kesuburan dan harapan untuk masa depan yang lebih baik.

Ritual ini juga berfungsi sebagai media untuk menjaga keseimbangan alam, memperkuat ikatan sosial antarwarga, dan menghormati leluhur yang telah berkontribusi dalam kehidupan mereka. Dengan melibatkan seluruh anggota komunitas, Ngayu-Ayu menciptakan rasa kebersamaan yang mendalam dan solidaritas di antara masyarakat. Setiap tahapan ritual dipimpin oleh pemangku adat dan dihadiri oleh berbagai tamu, termasuk raja-raja dari luar daerah, menunjukkan betapa pentingnya acara ini dalam konteks budaya lokal dan nasional. Selain itu, ritual ini juga menjadi ajang untuk memperkenalkan dan melestarikan kesenian tradisional Sasak, seperti Tari Tandang Mendet. Kegiatan makan bersama setelah ritual selesai menandakan perayaan atas keberhasilan upacara dan memperkuat hubungan antaranggota masyarakat. Dalam konteks yang lebih luas, Ngayu-Ayu mengajak kita untuk merenungkan pentingnya

menjaga lingkungan hidup dan menghargai warisan budaya yang ada.

Sumber:

Penulis:
Dwi Nadia Febrina
Hidayatussolihah
Muh. Refit Anggara Putra
Muh. Rizqy Hidayat

Comments