Berdasarkan pemahaman terhadap modul 3.1 tentang Pengambilan Keputusan Berbasis Nilai-Nilai Kebajikan Sebagai Pemimpin dapat disimpulkan bahwa sebagai pemimpin/kepala sekolah harus memahami paradigma dilema etika yang terdiri dari paradigma individu lawan kelompok (individual vs community), rasa keadilan lawan rasa kasihan (justice vs mercy), kebenaran lawan kesetiaan (truth vs loyalty), dan jangka pendek lawan jangka panjang (short term vs long term). Selain paradigma dilema etika, prinsip pengambilan keputusan meliputi berpikir berbasis hasil akhir (End-Based Thinking), berpikir berbasis peraturan (Rule-Based Thinking), dan berpikir berbasis rasa peduli (Care-Based Thinking).
Keputusan yang dipilih dalam situasi dilema etika maupun bujukan moral harus dapat diuji melalui sembilan langkah diantaranya; 1) Mengenali nilai-nilai yang saling bertentangan; 2) Menentukan sikap yang terlibat dalam situasi ini; 3) Kumpulkan fakta-fakta yang relevan dengan situasi ini; 4) Pengujian benar atau salah (uji legal, uji regulasi, uji intuisi, uji publikasi, uji panutan/idola); 5) Pengujian paradigma benar lawan benar; 6) Melakukan prinsip resolusi; 7) Investigasi opsi trilema; 8) Buat keputusan; dan 9) Lihat lagi keputusan dan refleksi.
Pengambilan keputusan berbasis nilai-nilai kebajikan sebagai pemimpin menggunakan prinsip ini sangat relevan dengan teknik couching untuk supervisi sebagaimana dibahas pada modul 2.3. Di samping itu, dengan prinsip ini dapat mendorong terwujudnya pembelajaran berdiferensisi, dan pembelajaran sosial emosional di dalam sekolah seperti yang dibahas pada modul 2.1 dan modul 2.2. Salah satu komponen pembelajaran sosial emosional yakni pengambilan keputusan yang bertanggungjawab. Untuk menguji keputusan yang bertanggung jawab ini harus dilakukan uji keputusan dengan menggunakan 9 langkah pengujian.
Dengan mengambil keputusan yang bijak berbasis nilai-nilai kebajikan maka seorang pimpinan telah menghadirkan budaya positif di lingkungan kerja sebagaimana dimaksud pada modul 1.4. Budaya positif yang meliputi motivasi, nilai-nilai kebajikan, keyakinan kelas, posisi kontrol pendidik, penerapan segitiga restitusi, dan pemenuhan kebutuhan dasar manusia dapat diwujudkan dengan keputusan-keputusan yang bertanggung jawab, dan berpihak pada murid.
Sementara pada modul 1.3 memberikan pemahaman bagaimana visi Guru Penggerak berupa
prakarsa perubahan dapat diwujudkan melalui pendekatan paradigma inkuiri apresiatif (IA).
Pendekatan ini diharapkan dapat menghadirkan perubahan positif dalam pembelajaran dan
pendidikan. Menurut Cooperrider & Whitney (2005), Inkuiri Apresiatif adalah suatu filosofi, suatu landasan berpikir yang berfokus pada upaya kolaboratif menemukan hal positif dalam diri seseorang, dalam suatu organisasi dan dunia di sekitarnya baik di masa lalu, masa kini maupun masa depan.
Cooperrider & Whitney juga berpendapat bahwa saat ini kita hidup pada zaman yang membutuhkan mata yang dapat melihat dan mengungkap hal yang benar dan baik. Mata yang mampu membukakan kemungkinan perbaikan dan memberikan apresiasi atas hal yang sudah berjalan baik. Bila organisasi lebih banyak membangun sisi positif yang dimilikinya, maka kekuatan sumber daya manusia dalam organisasi tersebut dipastikan akan meningkat dan kemudian organisasi akan berkembang secara berkelanjutan. Organisasi yang berkembang secara berkelanjutan tentunya tidak terlepas dari paradigma etika, prinsip, dan pengujian keputusan yang diambil oleh seorang pimpinan.
Pengambilan keputusan berbasis nilai kebajikan oleh seorang pemimpin merupakan nilai dan peran yang harus dimiliki oleh seorang guru Penggerak sebagaimana maksud modul 1.2. Dengan demikian, filosofi pendidikan nasional yang dibangun oleh Ki Hadjar Dewantara dapat direfleksikan dengan baik dalam memajukan pendidikan yang memerdekakan di Indonesia.
Comments
Post a Comment
Cara bicara menunjukkan kepribadian, berkomentarlah dengan baik dan sopan…