TETES-TETES NODA PENGKHIANATAN
Jam dinding
telah menunjukkan pukul 09.00 WIB. Marsya masih berbaring malas di atas tempat
tidurnya. Dengan posisi badan tertelungkup sambil membenamkan wajahnya di atas
bantal. Sesekali Marsya menengadahkan wajahnya sehingga pandangannya tertuju
pada dua lembar foto yang ada di genggaman kedua tangannya. Sudah beberapa jam
yang lalu sejak Marsya tersentak bangun dari tidurnya, kedua foto itu terasa
sangat mengusik pikirannya.
“Radit... Dido...”
desahnya dengan nada yang berat. Belum sempat Marsya melanjutkan ucapannya, adiknya
datang memberitahu bahwa Dido tengah duduk menunggunya di ruang depan. Dengan
langkah dipercepat, Marsya berjalan menuju ruang depan menemui Dido.
“Ada sesuatu
yang ingin aku bicarakan denganmu. Penting,” ujar Dido dengan raut wajah serius
saat telah duduk berhadapan dengan Marsya.
“Tentang apa?” tanya Marsya ingin tahu.
“Sebaiknya kita tidak membicarakan hal ini di
sini,” jawab Dido.
Marsya langsung bisa memahami maksud dari perkataan
Dido. Setelah berpamitan pada kedua orang tuanya dengan dalih pergi ke toko
buku, Marsya pergi bersama Dido. Dengan menggunakan motor milik Dido, mereka
berdua melaju menuju kos Dido.
“Kamu harus
memutuskan hubunganmu dengan Radit,” ujar Dido saat telah berada berdua di dalam
kamar kosnya. Marsya setengah terkejut mendengarnya.
“Mengapa?” tanya Marsya pura-pura tak mengerti.
“Aku tahu kamu sudah mengerti maksud perkataanku.
Hampir tiga bulan kita menjalani hubungan ini, tapi tak tentu arahnya. Aku
butuh kepastian. Kini saatnya kamu harus memilih, aku atau Radit,” jelas Dido.
Marsya menunduk bingung. Marsya membenarkan
perkataan Dido. Tapi memilih antara Radit dan Dido, bukanlah hal yang mudah
baginya. Beruntung akhirnya Dido tidak memaksanya untuk memilih sekarang,
melainkan memberinya waktu untuk berpikir selama dua minggu.
* * *
Seminggu telah berlalu. Marsya masih tetap larut
dalam kebingungannya sendiri. Terkadang terbersit sesal dalam hati Marsya,
mengapa ia dulu mau menerima Dido padahal Radit sangat setia padanya? Tapi bila
mengingat Dido yang baik dan selalu ada di sisinya saat ia butuh, Marsya merasa
sedikit kesal pada Radit. Radit memang baik dan setia, tetapi dia tidak
mempunyai banyak waktu untuk Marsya, Radit selalu sibuk. Maklumlah Radit adalah
mahasiswa semester tujuh yang tengah sibuk menyelesaikan kuliahnya. Terlebih
lagi Radit juga telah bekerja sebagai pegawai tata usaha pada sebuah sekolah.
“Sayang, mengapa melamun?” Radit menyadarkan Marsya
dari lamunannya.
“Eh, Kak Radit. Apa urusan Kakak sudah selesai?”
tanya Marsya menyembunyikan kegelisahannya.
“Sudah, Sayang. Sekarang mari kita pulang,” ajak
Radit.
“Pulang?”
“Iya, pulang. Kepala sekolah tadi menelepon dan
menyuruh Kakak segera ke kantornya. Ada berkas yang harus kakak selesaikan di
sana,” jelas Radit.
“Lalu, bagaimana dengan acara kita? Bukankah Kakak
mengatakan akan mengajakku ke toko kaset untuk melihat CD film terbaru?”
“Bagaimana kalau nanti malam saja? Kebetulan nanti
malam adalah malam Minggu,” tawar Radit.
“Ya, sudahlah. Aku mengerti kalau Kakak selalu
sibuk dan tidak ada waktu buatku. Sekarang kita pulang!” Marsya menggerutu
dengan nada ketus. Marsya merasa kecewa dengan kesibukan Radit.
Pada malam harinya, Marsya menolak ajakan Radit
untuk menikmati malam Minggu bersama. Marsya justru lebih memilih pergi bersama
Dido. Radit hanya bisa menurut pada Marsya yang menolak ajakannya dengan alasan
yang tidak jelas.
Marsya dan Dido tengah asyik melihat-lihat CD film
di sebuah toko kaset saat sebuah suara mengejutkan Marsya.
“Marsya,” sapa seseorang yang suaranya sudah sangat
dikenal oleh Marsya. Marsya menoleh ke belakang. Matanya terbelalak seolah tak
percaya. Entah sudah berapa lama Radit berada di tempat ini dan melihatnya
bersama Dido.
“Aku tak menyangka...,” kata Radit berusaha tenang.
“Aku... aku...,” Marsya terlihat sangat gugup.
Sementara Dido hanya terdiam.
“Aku sengaja ke sini untuk mencari CD film terbaru.
Aku membelikan satu untukmu,” ujar Radit seraya menyodorkan CD yang telah
dibelinya kepada Marsya. Marsya menerimanya dengan tangan bergetar. Tak terasa
air matanya menetes.
“Aku mau
pulang dulu. Semoga malam ini menyenangkan bagimu. Tapi ingat, jangan pulang
larut malam,” lanjut Radit sambil berlalu dengan langkah cepat meninggalkan
Marsya bersama Dido. Hatinya sungguh sakit dan kecewa. Tak disangka perempuan
yang sangat dicintainya malah mengkhianatinya.
Semenjak kejadian itu, Marsya selalu diliputi rasa
bersalah. Hubungannya dengan Radit terancam bubar. Marsya tak ingin hal itu
terjadi. Sama halnya dengan Marsya, Radit pun tak ingin hubungan yang telah
berusia tiga tahun ini hancur begitu saja. Oleh karena pertimbangan itulah,
Radit memutuskan untuk memberi kesempatan pada Marsya. Radit memaafkan dan
menerima Marsya kembali dengan syarat, Marsya memutuskan hubungannya dengan
Dido dan berjanji tidak akan mengulangi kesalahannya lagi. Tanpa pikir panjang
Marsya pun menyanggupi syarat dari Radit.
Marsya memutuskan hubungannya dengan Dido tepat di
depan Radit. Hal ini Marsya lakukan atas permintaan Radit. Maka wajarlah bila
Dido menjadi emosi tak menentu. Rasa marah, sakit, sedih, dan kecewa serasa
bercampur menjadi satu.
Hari-hari pun berlalu. Di luar dugaan, Dido masih
tetap berusaha mencari Marsya. Dido bersikap sangat baik terhadap Marsya,
seolah-olah peristiwa menyakitkan itu tak pernah terjadi. Bahkan, Dido
meyakinkan Marsya bahwa mereka bisa melanjutkan hubungan ini tanpa sepengetahuan
Radit. Kendati terlanjur mencintai Dido, Marsya pun tak menolak. Marsya kembali
berpacaran dengan Dido dan melupakan janjinya pada Radit.
Perselingkuhan Marsya dengan Dido pun berjalan
seiring waktu. Hingga enam bulan lamanya, Radit tak sedikit pun curiga. Radit
percaya sepenuhnya pada Marsya. Lagipula kini Radit tengah sibuk mengurus ujian
skripsi dan mempersiapkan wisudanya.
Tapi tak dapat dielakkan. Pepatah “sepandai-pandai
manusia menyembunyikan bangkai, akan tercium baunya juga” tetap berlaku. Begitu
pula halnya pada Marsya. Tepat di hari wisudanya Radit telah mencium bau
perselingkuhan Marsya dengan Dido. Maka, pada malam harinya Radit mendatangi
rumah Marsya.
“Kak Radit,” ujar Marsya terperangah. Marsya merasa
terkejut bukan main. Marsya beranjak bangun dari duduknya dan berjalan ke arah
Radit yang berdiri mematung memandanginya bersama Dido.
“Kak, aku bisa menjelaskan semuanya,” ujar Marsya
lagi.
“Tidak perlu,” jawab Radit singkat.
“Tapi, aku....,” kata Marsya gugup dan mulai
menangis.
“Menangis tak akan mampu mengubah keadaan. Semuanya
sudah jelas.” Radit menghela napas sejenak sambil menahan gejolak di dadanya.
Ingin rasanya turut menangis malam ini.
Tapi, akhirnya Radit berkata sambil melirik ke arah
Dido, “Mungkin dia memang lebih baik daripada aku. Maaf atas
ketidaksempurnaanku dalam mencintaimu selama ini.” Radit kembali terdiam dan
menghela napas panjang.
“Tidak...,” jawab Marsya sesenggukan tak kuasa
menahan tangis.
“Mungkin
kita memang diciptakan tidak untuk bersama. Semoga kau bahagia dengan pilihanmu,”
lanjut Radit lalu bergegas membalikkan tubuhnya berjalan pulang. Radit pun tak
kuasa menahan tangis. Sungguh tak dapat
dibayangkan, betapa terpukulnya Radit karena pengkhianatan Marsya.
* * *
Sebulan kemudian Marsya mendapat kabar bahwa Radit
telah pindah sekeluarga ke luar kota. Marsya merasa sangat kehilangan. Marsya
menangis setiap kali mengingat kebersamaannya dengan Radit. Mengetahui hal
tersebut, Dido tak menyia-nyiakan kesempatan. Ternyata Dido diam-diam menyimpan
dendam pada Marsya. Dendam karena Marsya pernah memutuskan hubungan dengannya
di depan Radit. Dido merasa harga dirinya telah diinjak-injak oleh Marsya. Oleh
sebab itu, Dido memastikan Marsya harus membayar mahal untuk itu.
Maka, pada suatu malam Dido mengajak Marsya ke
kosnya. Sesaat setelah meminum segelas air yang disodorkan Dido kepadanya, Marsya
tak sadarkan diri. Marsya dan Dido menghabiskan malam bersama. Perbuatan
terlarang itu pun terjadi.
Saat tersadar, Marsya terkejut telah mendapati
tubuhnya nyaris tanpa busana. Marsya lalu menyingkap kain yang menutupi
sebagian tubuhnya. Dan...
“Tidak...!” Marsya spontan menjerit keras melihat
tetesan darah mengalir turut membasahi kedua pahanya.
Dido tersentak bangun dan menyadari reaksi Marsya.
Didekapnya mulut Marsya menggunakan tangannya. Marsya terus menjerit dan mulai
berontak. Dido pun memeluk Marsya dan berusaha menenangkannya. Tanpa ada rasa
penyesalan, Dido berpura-pura meminta maaf dan mengatakan bahwa ia khilaf.
Marsya meminta pertanggungjawaban dari Dido. Dido
menjadi bingung karena sebelumnya ia tak pernah berniat menikah dengan Marsya.
Namun demi membungkam Marsya untuk sementara waktu, Dido berjanji akan
bertanggung jawab dengan meminta tenggang waktu tiga bulan. Marsya mempercayai
begitu saja semua perkataan Dido.
Hingga pada suatu siang di kampusnya. Marsya tengah
gelisah memikirkan Dido yang telah menghilang dan tak ada kabarnya selama dua
minggu terakhir ini. Dan Mirna, teman sekampusnya, tiba-tiba datang membawa
kabar yang tak pernah terbayangkan oleh Marsya sebelumnya.
“Marsya, Dido... Dido meninggal karena...
kecelakaan.” Mirna berkata dengan napas yang terengah-engah karena habis
berlari dari kejauhan ke arah Marsya.
Bak petir di siang bolong, Marsya mendengar kabar
itu.
“Tidak... tidak mungkin. Jangan bercanda Mirna!”
ujar Marsya seraya berdiri sambil menggelengkan kepalanya tak percaya.
“Itu benar, Marsya. Dido kecelakaan motor seminggu
yang lalu dan telah meninggalkan kita untuk selama-lamanya tadi pagi di rumah
sakit,” jelas Marsya.
“Tidak...!” Marsya berteriak sambil memegangi
kepalanya dengan kedua tangannya. Mirna berusaha menenangkan Marsya. Namun,
Marsya mendorong tubuh Mirna dan berlari menjauh.
“Bruuk...!”
Marsya tiba-tiba ambruk dan tergeletak di tanah. Sayup-sayup Marsya mendengar
suara riuh teman-temannya yang berhamburan ke arahnya. Sekujur tubuhnya terasa
lemah dan kaku. Sesaat kemudian Marsya teringat akan Radit dan seperti
menyadari sesuatu.
“Radit, maafkan aku,” gumamnya lirih.
Selang beberapa detik, Marsya merasa pandangannya
menjadi gelap. Suara teman-temannya sudah tak terdengar lagi. Lalu, semuanya
terasa hampa.
Karya: Jawahir Intan Hairul Saminah
Comments
Post a Comment
Cara bicara menunjukkan kepribadian, berkomentarlah dengan baik dan sopan…