MENANTI
SENYUMAN RINJANI
Matahari
baru saja keluar dari persembunyiannya saat aku tiba di kampus. Sapaan ramah
para security kubalas dengan
senyuman. Mungkin mereka merasa sedikit keheranan dengan kehadiranku pagi ini.
Apa yang dilakukan oleh seorang mahasiswi saat pagi-pagi buta begini di kampus
? Setidaknya semacam inilah pertanyaan yang ada di benak mereka ketika
melihatku. Tapi tak ingin kuhiraukan. Aku meneruskan langkah menapaki satu demi
satu anak tangga yng membawaku hingga ke lantai tiga.
Bentangan
Gunung Rinjani, sungguh pemandangan yang indah. Meski dari kejauhan tapi
pesonanya seakan mampu membiusku. Sejenak aku sempat tak bergeming
memandanginya. Lalu aku teringat pada sesuatu yang mengusik pikiranku sejak
semalam. Sebuah buku sederhana yang berukuran sedang dan bersampul hijau.
Kukeluarkan segera dari dalam tas dan kubuka isinya halaman demi halaman.
“Masya
Allah,” gumamku perlahan diliputi rasa kagum dan syukur.
Pada
lembaran-lembaran kertas buku tersebut terpampang berbagai macam gambar yang
bercerita tentang khazanah budaya Lombok. Terlihat adat istiadat suku Sasak
tertuang dalam pakaian adat dan kesenian daerah Lombok. Sungguh pulau yang
indah dan kaya akan budaya.
Pada
beberapa lembaran terakhir halaman buku tersebut terlihat gambaran yang menjadi
puncak keindahan Pulau Lombok. Panorama yang memukau dan menarik perhatian
semua orang. Tak lain adalah Gunung Rinjani. Sebuah simbol kesakralan nan
mistis di Pulau Lombok. Kini lebih dikenal masyarakat dengan nama Taman
Nasional Gunung Rinjani.
Keelokan
panorama Rinjani membuat mata tak pernah bosan memandangnya. Terlebih lagi
didukung oleh beberapa tempat yang unik dan menarik namun masih sangat alami.
Di antaranya terdapat Danau Segara Anak yang tampak sangat luas bak miniatur
lautan. Di sekitar Danau Segara Anak terdapat pula tempat yang tak kalah
uniknya, yakni Gua Susu, Gua Payung, dan Gua Manik. Tak cukup sampai di situ.
Dari perut Gunung Rinjani pun mengalir air panas yang disebut dengan Aiq Kalak.
Aiq Kalak ini teralir ke kolam-kolam kecil yang bertingkat di sekitar Danau
Segara Anak.
Tak
terasa waktu telah menunjukkan pukul 08.00 WITA saat kutengok jam tanganku. Aku
baru tersadar bahwa sedari tadi aku tengah asyik bercerita sendiri dengan
pikiranku. Terbawa larut dalam arus imajinasi. Tapi tak apa, karena setidaknya
aku memiliki kebanggaan tersendiri pagi ini. Kupandangi kembali sosok Gunung
Rinjani yang tampak dari kejauhan. Ada rasa yang mengganjal di benakku. Seakan
ada yang kunanti. Namun hingga detik ini aku tak tahu pasti apa gerangan hal
itu.
“Hai,
Sobat. Pagi-pagi gini udah ngelamun sendirian,” ujar salah seorang teman yang datang
menghampiriku.
“Biasa,
saya sedang mencari inspirasi,” balasku santai penuh senyuman.
“Inspirasi
? Pasti mau ikut Festival Rinjani ya ?”
“Festival
Rinjani ?” tanyaku balik tak mengerti.
“Ah,
gak usah pura-pura gak mengerti. Ayo ke bawah ! Teman-teman satu tim kita udah
nunggu.”
Aku
mengikuti langkah temanku turun ke lantai satu. Aku masih tak mengerti perihal
Festival Rinjani. Tapi firasatku mengatakan mungkin ini adalah jawaban dari apa
yang kunanti. Kutorehkan senyuman tipis ke arah Rinjani. Berharap ia balik
melakukan hal serupa padaku, meski hanya sebuah analogi.
***
Karya: Jawahir Intan Hairul Saminah
Comments
Post a Comment
Cara bicara menunjukkan kepribadian, berkomentarlah dengan baik dan sopan…